JAKARTA - Prof. Ahmad Syafii Maarif (87) yang akrab dipanggil Buya Syafei telah berpulang ke Rakhmatullah hari Jumat (27 Mei 2022) pada ujung bulan Syawal di Yogyakarta. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Namun, amanat suluh kehidupan yang telah diwariskannya tidak ikut berpulang: “kemuliaan sikap moral” yang ditinggalkannya itu adalah sebuah lembaran hidup keseharian yang dilewatinya dengan nyaman dan bersahaja. Serta bahagia. Sekelebat wajah penyair Chairil Anwar melintas bersama potongan puisi “Nisan” (1942): “Bukan kematian benar menusuk kalbu. keridhaanmu menerima segala tiba…..”
Almarhum Buya, demikian nama panggilan penghormatan sehari-hari – sejak beberapa puluhan tahun yang lalu - direkatkan dengan takzim atas dirinya - oleh masyarakat luas. Lintas agama, lintas suku, lintas golongan dan lintas ras. Ekspresi keterpesonaan masyarakat yang hormat dan takjub melihat keikhlasan dan kepasrahan almarhum menapaki kehidupan sepanjang hayat dengan kesederhanaan sejati.
Pilihan hidup yang memuliakan itu, dijalani secara alami dan mengalir tanpa beban. Dibuktikannya melalui pengabdian kesehariannya kepada bangsa ini. Tidak dibalut dan dibungkus kemewahan. Tanpa mobil mewah. Tanpa rumah mewah. Tanpa perlu harus hidup di Jakarta, markas di mana sejumlah kemewahan artifisial berkelindan dalam lahan medan politik yang penuh dengan gimmick dan intrik.
Salah satu penghormaan terakhir kepada almarhum yang sangat berharga datang dari harian Kompas, Sabtu (28/05/2022). Seluruh halaman satunya (front page) penuh menyajikan Obituari kolosal, dengan menampilkan foto almarhum berwajah tegas tanpa senyum, menggenggam gulungan kertas putih. Dipadu latar belakang warna hitam pekat (tanda duka mendalam). Menyajikan karya fotografi yang impresif. Kombinasi hitam putih kontras. Tapi penuh pesan.
Tim wartawan Kompas menurunkan tulisan berjudul “Nyala Abadi Suluh Bangsa” dengan didahului lead singkat padat. “Berpulangnya Ahmad Syafii Maarif pada Jumat (27/05/2022) merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Kesahajaan dan ketekunan dalam menjaga keberagaman menjadi teladan abadi”. Biasanya Obituari hanya disajikan media sebagai sebuah artikel untuk mengenang seseorang terpandang yang meninggal dunia.
Di hari yang sama pada halaman 2, Budiman Tanuredjo, Wapinum harian Kompas menurunkan tulisan ”Muazin Bangsa yang Selalu Gelisah”. Judul ini merujuk tulisan Alois A. Nugroho dalam buku “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” (2015). “Muazin dalam artian sang pengingat yang selalu berseru-seru menyuarakan kebaikan. Berseru bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan bangsanya. Muazin bangsa ini pantas dilekatkan kepada sosok seperti Nurcholis Majid dan KH Abdurrahman Wahid. Keduanya sudah berpulang”.
Baca juga:
Zainal Bintang: Pancasila
|
Lebih lanjut Budiman menulis, “Muazin bangsa kian berkurang. Saat ngobrol dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Nasdem Tower bersama sejumlah pemimpin redaksi Rabu, 25 Mei 2022, saya ungkapkan kegelisahan saya tentang kian berkurangnya “muazin” bangsa. Saya sampaikan kepada Surya Paloh, apakah tidak mungkin seorang ketua umum partai politik melepaskan baju ketua partai untuk menjadi muazin bangsa, seperti Buya Safei. Transformasi dari politisi menjadi negarawan sejati”.
Tidak ada jawaban Surya Paloh. Apakah dia setuju atau tidak setuju. Pertanyaan Budiman menyimpan arti mendalam bahwa kalau politisi itu, bukan negarawan. Dunia politik yang dikelola secara ugal-ugalaan menyebarkan racun politik. Perlahan tapi pasti. Menggerus apa yang paling berharga bagi kehidupan pada diri pribadi dan pada sebuah bangsa: Dignity. Harga diri. Tentang kemuliaan, harkat dan martabat. Diri pribadi dan bangsa saat-saat ini terasa sedang terancam kehilangan pegangan. Sejatinya harga diri dan martabat yang terakumulasi di dalam frasa “kemuliaan” adalah mercusuar. Pemandu ketersesatan dari godaan setan-setan yang dirajam.
Melalui jalan sunyi dan kesederhanaan yang ditempuh Buya, justru daripadanya kemuliaan sejati itu tumbuh. Datang. Dan bersemi dengan kodratnya yang alamiah. Buya menebar dan menguncupkannya dari kesederhanaan dan kerendahan hatinya. Berani tampil berani mengalahkan dirinya. Menaklukkan semangat dunia yang menggoda bagaikan setan berjubah malaikat.
Bersepeda pulang dan pergi ketika hendak mengajar di kampus di Yogya, untuk mendidik mahasiswa menjadi insan berbudi sebagai koridor kemuliaan itu. Buya sanggup antri berjam-jam di stasiun kereta api, ketika bertugas ke Jakarta dan atau kembali Yogya. Menuai semua itu dengan menyisiri dan menyusuri pinggir-pinggir kehidupan. Sesuatu yang berbanding terbalik dan berbeda dengan tingkah pola sebagian petinggi negeri di era ini yang terjebak angin puting beliung nafsu duniawi. Memaksakan diri mengejar hasrat yang sangat fisik. Meninggalkan yang sifatnya lebih nurani.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Kepergian Buya dirasakan meninggalkan negeri ini sedang dalam cengkeraman kegelapan moralitas. Namun pada saat yang sama, kepergiannya itu seperti memancarkan kesadaran moralitas lain yang hilang itu. Menyentakkan kilatan cahaya. Menerabas kegelapan duniawi yang penuh intrik, tipu muslihat dan kiat-kiat destruktif.
Melalui kekuatan tersembunyi yang dimiliki itulah, yang mendorong sikap kritisnya mengecam kebijakan yang bertentangan dengan etika dan kepantasan. Gejala pahit getir di era ini, seolah berlangsung “pembantaian” etika dan moralitas justru diperagakan dengan suka cita petinggi negeri. Seyogyanya kewenangan dan kemewahan dari negara dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tragisnya, kini bermutasi menjadi wirid kolektif, untuk sebesar-besar kemakmuran keluarga.
Buya tidak gentar mengutuk semua tindakan buruk dan destruktif yang dilakukan petinggi negeri di semua tingkatan yang menjadi parasit bangsa. Mengingkari sumpahnya sebagai penjaga marwah bangsa. Atau sebagai muazin itu. Dari mana Buya mendapatkan sumber keberanian? Ternyata ada pada sifat bersahaja dan kesederhanaan. Dengan langkah pasti memilih hidup di jalan sunyi dan bersahaja.
Sepeda motor tua dan mobil tuanya menjadi sumber keberanian dan sikap kritis. Menolak menjadi budak nafsu untuk memaksakan perolehan materi melalui cara-cara yang tidak menghormati etika dan moral serta melanggar hukum.
Chairil Anwar seutuhnya hadir melalui puisi “Nisan” (untuk nenekanda): “bukan kematian benar menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba. tak kutahu setinggi itu di atas debu, dan duka maha tuan tak bertahta”.
Jakarta, 31 Mei 2022
Zainal Bintang
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya